Minggu, Oktober 18, 2009

Wisata Kemiskinan














Banyak cara memandang orang miskin di Jakarta. Bagi pemerintah, orang miskin dianggap sebagai penggangu pembangunan yang meresahkan dan bisa menciptakan instabilitas pemerintahan maka seringkali yang dilakukan oleh pemerintah daerah hingga ke pusat adalah mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) atau aparatur keamanan lainnya bila perlu preman bayaran untuk mengusir warga miskin dari lokasi sudut-sudut kota yang dianggap ilegal tanpa mencari solusi bagai mana sesungguhan kewajiban negara untuk orang-orang semacam ini.

Bagi orang kaya yang hidup di dunia bisnis dan tidak bersetuhan dengan lingkup sosial masyarakat miskin, sebagian dari mereka menganggap orang miskin adalah orang bodoh, perampok, pemalas, tukang palak, tukang mabok, pencuri, pengemis dan sebagainya, yang tanpa mereka pikirkan bahwa perampok yang paling meresahkan adalah penyelewengan dana Pemerintah (korupsi) yang justru dilakukan oleh oarng-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang kaya lainnya (kasus BLBI, dan kasus korupsi lainnya)

Bagi beberapa orang yang peduli terhadap lingkungan sosialnya, mereka memandang orang miskin sebagai orang yang perlu ditemani, di bela hak-haknya sebagai warga negara dan dibantu untuk mendapatkan akses pendidikan dan keterampilan supaya lambat laun bisa berubah setidaknya menjadi orang yang mampu hidup layak sebagai manusia sosial lainnya.

Cara Pandang Baru yang Mengerikan!
Beberapa waktu lalu, ketika berdiskusi dengan Romo Sandyawan sumardi, SJ di markas Jaringan Relawan Kemanusiaan Jakarta, saya mendapatkan informasi yang mengerikan yaitu kemiskinan yang dijadikan objek pariwisata. Bagiku yang mengejutkan adalah bagi beberapa orang, salah satunya adalah orang yang pernah kukenal namanya pada tahun 1998 saat berdemonstrasi menumbangkan rezim diktator Soeharto. Entah apa yang ada dibenaknya, Ia adalah salah satu orang yang melihat peluang terhadap banyaknya masyarakat urban yang hidup miskin berhimpitan di pinggir kota jakarta. Mereka melihat orang miskin sebagai sesuatu yang bisa dijual/ dikomersilkan untuk tujuan pariwisata bagi turis-turis asing. Mereka menganggap bahwa kehidupan orang miskin ditengah kota Jakarta bisa dilihat sebagai budaya (seperti budaya koteka di Irian Jaya), sehingga bisa menarik dan mendatangkan turis-turis untuk mengunjungi tempat wisata yang baru itu.
Tentu ini cara pandang baru terhadap orang miskin yang sangat mengerikan, dimana para turis yang kebanyakan dari Australia di Guide untuk melihat langsung bagaimana orang-orang dipinggir kali Ciliwung hidup dalam kesehariannya, sang guide ingin menunjukan kepada sang turis bahwa di tengah gedung megah yang merajalela di jakarta, hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai pada situasi yang sangat kontras, sebuah ruang 2 x 3 meter dari seng bekas berkarat dan berlobang di beberapa bagiannya dan beberapa dinding dari kardus dan plastik bekas, tanpa ventilasi, tanpa kamar disana berdesanan 5 orang dalam satu keluarga dengan MCK dibelakang rumahnya yaitu di kali Ciliwung. Sang Guide lalu mewawancarai para penghuni rumah yang kumuh dan membagikan uang Rp. 50,000 sebagai imbalan untuk pengambilan gambar seluruh sudut-sudut ruangan yang ada hingga sudut sarang tikus yang jadi satu didalam rumah tersebut.
Bagi masyarakat miskin yang tidak tahu-menahu, mereka cukup senang mendapatkan upah Rp. 50,000.00 tanpa sadar bahwa mereka sedang dieksploitasi, ditelanjangi dan dipertontonkan kepada orang-orang lain yang tidak pernah mengalami atau membayangkan bahwa kehidupan seperti itu ada di Jakarta.
Bagi Sang Turis, mereka senang, bisa melihat sisi lain kehidupan masyarakat Jakarta dan berhasil mendokumentasikan cara hidup yang bagi mereka baru diketahui. Tentu mereka kemudian menjadikan hasil wawancara dan pengambilan gambarnya untuk dijadikan sebuah Film yang mungkin kelak bisa mendapatkan penghargaan. Tanpa mereka sadari bahwa para Turis ini telah melakukan pelangaran etika dan hukum karena telah memasuki ruang privasi sebuah keluarga dan mengeksposenya dalam subuah dokumentasi.
Bagi sang Guide karena kemahirannya bisa menceritakan dan mengulas tentang kemiskinan di Jkarta layaknya para Guide Turis Pariwisata di Bali yang mampu mengulas tradisi dan budaya serta tempat-tempat alami di Bali, mereka akan mendapatkan upah yang cukup besar dan menjadikan hal semacam ini sebagai tujuan pariwisata yang layak di promosikan.
Sebuah ironi dari KEBIADABAN manusia yang mengeksploitasi penderitaan orang lain. ini sama dengan yang saya jumpai saat terjadi bencana alam di Aceh dan beberapa wilayah lainnya dimana orang-orang menonton, mengambil gambar dan menikmati dirinya sebagai pusat perhatian media "seolah-olah" dengan berada ditengah-tengah korban, dia mampu menunjukan kepedualiannya terhadap orang yang baru kena musibah, padahal Dia sedang mengambil keuntungan dari sebuah musibah.

Bukan Pilihan
Menjadi Miskin jelas bukan pilihan orang miskin. Lantas apakah mereka miskin karena mereka malas, pemabok, bla bla bla…banyak contoh yang tegas dimana orang-orang miskin berusaha dan bekerja lebih keras dari para orang pada umumnya. Mereka menjadi miskin karena kondisi dan kesempatan yang tidak diciptakan bagi mereka untuk bias mengakses hak-haknya agar keluar dari kemiskinan. Untuk itulah jaminan atas hak asasi manusia ini ditegaskan oleh masyarakat internasional dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 25 deklarasi itu menyebutkan, “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, usia lanjut, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi di luar kekuasannya”.
Di Negara kita, Indonesia. Orang miskin dilindungi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, mengacu pada pasal 34 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan “fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. Yang seharusnya bahwa hidup mereka adalah tanggung jawab Negara dan tanggung jawab masyarakat lainnya sebagai masyarakat social. Karena Negara diciptakan untuk berpihak terutama kepada orang miskin supaya mereka mampu hidup layak sebagaimana manusia social lainnya.
Mungkin kegalauan saya terhadap sikap kebanyakan orang terhadap orang miskin, saya selalu diingatkan terhadap kenyamanan orang-orang kaya dengan gaya hidupnya yang seolah-olah lepas dari orang-orang disekilingannya yang miskin, cara berpikir yang naif terhadap orang miskin yang dianggap kotor, iahat dan blablabla.., maupun akan tiadanya pengharapan bagi banyak orang miskin karena sekian lamanya tidak juga mampu keluar dari persoalan hidupnya yang telah diwariskan oleh orang tuannya.
”Wah saya mah enggak tahu lagi mas, mau bagaimana lagi, bagimana untuk besok saja saya tidak mampu memikirkannya apakah tetap sama seperti hari ini atau kemarin” sebuah sikap kepasrahan. Padahal kesadaran tentang cita-cita, harapan akan masa depan seharusnya menjadi motivasi setiap orang hidup. Masa depan bukan suato donasi, pemberian derma : masa depan ada sebagai keharusan sejarah dan mengandung arti kesinambungan sejarah. Sejarah tidak pernah mati, dan tidak bermetamormofis menjadi fatamorgana khayalan (Paulo Freire, Pedadogi Hati)

Tadius Prio Utomo
Member of Matraman Shelter
Tinggal di Dili, Timor Leste